Home » » Jangan Kau Kapitaliskan Sistem Pendidikan Indonesiaku!

Jangan Kau Kapitaliskan Sistem Pendidikan Indonesiaku!



            Pendidikan adalah salah satu tolok ukur suatu bangsa. Bukan dari kuantitas tapi kualitas bangsa yang harus dipertimbangkan. Dengan pendidikan pula pasti dapat merubah nasib suatu bangsa. Masih terngiang  di benak ketika sekitar 67 tahun yang lalu selama 3,5 abad Negara Indonesia  dijajah oleh Belanda, kemudian Jepang dan Negara lain. Hal tersebut terjadi manakala bangsa kita belum banyak mengenyam pendidikan. Karena pola para penjajah bangsa Indonesia  adalah pembodohan, maka pendidikan menjadi hal yang sangat sulit didapat, kalaupun ada hanya kalangan bangsawan dan orang-orang tertentu yang mempunyai prestige .
Sebelumnya,  melalui pendidikan lahir gerakan-gerakan  pembaharu Indonesia merdeka, ki Hadjar dewantoro, R.A Kartini dan para pahlawan pendidikan lain sebagai cikal bakal lahirnya kemerdekaan maka seiring berjalannya waktu dan perjuangan  sampai titik darah penghabisan, kemerdekaan dapat  diraih yang merupakan  buah hasil para orang terdidik pada zaman itu. Jadi pendidikan menjadi pondasi utama ketika negara ingin maju atau terbebas dari penjajah.
Sejarah kemerdekaan Indonesia mengilhami pendidikan bangsa pada waktu itu. Bagaimana pendidikan di Indonesia sekarang? apakah sejarah tersebut benar-benar mengilhami atau lepas sebagai wacana begitu saja?  apakah pendidikan sekarang sejalan memajukan bangsa Negara atau sebatas formalitas sebagai tugas negara? Dalam UUD 1945 telah menyebutkan bahwa tujuan Negara adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” tapi hal ini apakah masih relevan pada realitas pendidikan di Indonesia sekarang?  mahal, rendah, diskriminatif, kebohongan, ketidakadilan, semua kata-kata negatif mengacu pada pendidikan yang intinya memojokkan kualitas pendidikan Indonesia jauh dari sempurna.
Alokasi dana APBN untuk sektor pendidikan yang mencapai 20% masih belum bisa menjadikan pendidikan mendapat acungan jempol dari masyarakat. Logikanya, budget besar dapat menjamin hasil pendidikan menjadi baik sesuai yang dicita-citakan akan tetapi hal tersebut sangat kondtradiktif yang disebabkan oleh banyak hal. Salah satu alasannya adalah pengabaian proses atau sistem pendidikan. Pendidikan seharusnya sebagai pengembang dan pencetak generasi-generasi  yang mempunyai keilmuan dan kompetensi berubah menjadi lahan bisnis. Kaidah UUD yang tersebut diatas berubah menjadi “pendidikan untuk keuntungan sebesar-besarnya”. Pendidikan menjadi mahal tidak terjangkau oleh masyarakat miskin sehingga hanya orang berduit mendapatkan pendidikan layak. Orang miskin semakin terpinggir, ironisnya lagi ungkapan yang menggambarkan pendidikan  sekarang, orang miskin dilarang sekolah. ketika kita lihat jauh lebih dalam hanya kelas menengah keataslah yang mendapat pendidikan baik. Yang lain hanya mendapatkan pembelajaran yang ala kadarnya. Pendidikan sekarang hanya memandang sebelah mata oleh karena pendidikan kini yang seharusnya dinikmati oleh semua masyarakat beralih menjadi enyakan oleh masyarakat golongan tertentu.
Hal tersebut terjadi manakala sistem pendidikan sebagai sumbernya telah salah kaprah. Sistem pendidikan sekarang hanya menitik beratkan pada output tanpa melihat proses pendidikan itu sendiri. Salah satunya standarisasi kelulusan melalui hasil ujian nasional. Secara ideology para pembuat kebijakan menggiring para peserta didik untuk menjadi manusia yang berintelektual dan standarisasi tersebut dapat digunakan pembanding tingkat pendidikan dengan Negara lain, akan tetapi realitas yang ada. Dengan kemampuan berjalan, peserta didik  digembleng untuk lari sprint demi kelulusan sehingga peserta didik terseret-seret dan tertatih sebagai akibatnya manipulasi, kecurangan, dan korupsi  muncul. Tidak adanya pengawasan dan peninjauan kembali dari pemerintah sebagai pembuat dan penanggung jawab sehingga hal-hal negatif tersebut lazim didunia pendidikan. Kecurangan tersebut ternyata bukan hanya pada peserta didik akan tetapi oknum-oknum tertentu dalam lingkungan sekolah juga ikut andil dalam rangka kelulusan 100% dengan berbagai cara dari memberikan jawaban kepada peserta didik saat ujian, membocorkan soal ujian dan sebagainya.
Mereka melakukannya untuk sebuah tujuan yakni martabat. Mengapa demikian? Tingkat kelulusan dijadikan barometer status sekolah. Sekolah dengan kelulusan tinggi menjadikan sekolah tersebut menyandang title favorit. Dengan berstatus favorit, sekolah mempunyai kekuatan tambahan untuk menumpuk rupiah yang berlimpah tanpa harus membuat orang tua protes atas penarikan biaya pendidikan. Hal ini sebagai bukti pendidikan telah dijual-belikan dan esensi pendidikan telah luntur. Hal seperti diatas telah masuk hampir seluruh lembaga penyelenggara pendidikan ; kursus, pelatihan, sekolah sampai universitas
kemudian muncul Paradigma masyarakat yang semakin yakin akan “semakin tinggi biaya sekolah maka semakin baik pula kwalitas sekolah” kenyataan yang ironis ketika kwalitas sekolah diukur dengan harga, paradigm diatas secara otomatis membuka lebar pintu kapitalis, menjadikan jurang status kaya dan miskin. Bisa dikatakan pendididkan sekarang adalah pendidikan berbasis bisnis. Pendidikan sejatinya memandang sama rata, tidak ada kaya atau miskin hanya tingkat intelegensi dan karakternya yang membuatnya berbeda oleh karenanya pendidikan berbasis karakterlah  yang kita idam-idamkan sebagai pondasi  menatap masa depan cemerlang.
Maka dari itu untuk mencegah kolonialisme datang kembali  dan mencapai cita-cita menjadi Negara maju  seperti pemaparan di mukaddimah semua element yang berhubungan dengan pendidikan ; pemerintah, penyelenggara pendidikan, keluarga(orang tua), dan peserta didik mampu bertanggung jawab dan menyadari akan posisi masing-masing. Pemerintah sebagai pembuat system harus  memandu, memantau  dan melihat kembali  atas sistem yang dibuat secara baik dan benar karena kebijakan sistem yang salah akan berakibat fatal  pada hasil yang telah diperbuat. Para penyelenggara pendidikan juga sangat berperan dalam penciptaan pendidikan berkarakter, tujuan penyelenggaraan pendidikan harus berada pada alurnya mengedapankan cita-cita mulia bangsa dengan cara mencerdasknya dengan tidak menjadikan orientasi pendidikan sebagai lahan pencetak uang. Pendidikan yang mendasar sejatinya ada pada keluarga karena merupakan peletak dasar karakter. Bimbingan keluarga yang menjadikan putra-putrinya sebagai baut mesin kapitalis yang berorientasi pada uang “kamu sekolah ya nak supaya punya uang banyak” harus dirubah menjadi “kamu sekolah ya nak supaya kamu menjadi orang yang bermanfaat”. Kemudian yang terakhir adalah peserta didik mempunyai tugas untuk secara ikhlas merubah dirinya yang buruk menjadi baik, yang baik menjadi lebih baik dan yang lebih baik menjadi yang terbaik dalam artian para peserta didik mampu keluar dari zona korban komersialisasi pendidikan.

0 tanggapan:

Posting Komentar